Dakwah Tauhid Mempersatukan Umat Dan Tidak Memecah Belah
DAKWAH TAUHID MEMPERSATUKAN UMAT DAN TIDAK MEMECAH BELAH
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Sungguh telah menyebar -alhamdulillah- seruan kepada manhaj salaf dan berpegang teguh dengannya, akan tetapi ada orang yang mengatakan: “Sesungguhnya dakwah ini (dakwah salafiyah) tidak lain hanyalah akan memecah belah barisan (kaum muslimin, pent) dan mengkoyak-koyakkan, serta menjadikan sebagian mereka memerangi sebagian yang lain. Sehingga mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri dan meninggalkan (memerangi, pent) musuh-musuh mereka yang hakiki. Apakah ini benar, dan apa nasehat Syaikh?
Jawaban.
Ini adalah pemutarbalikan hakekat (fakta), karena sesungguhnya berdakwah kepada tauhid dan manhaj salaf ash-shalih itulah yang mampu menyatukan kalimat, dan menyatukan barisan (kaum muslimin) sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah secara keseluruhan, dan jangan kalian berpecah-belah.” [ali-Imran/3: 103]
Dan firman-Nya:
إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya ini adadalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka beribadahlah kepadaKu.” [al-Anbiya/21: 92]
Maka tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu kecuali di atas kalimat tauhid dan manhaj salaf, karena apabila mereka dibolehkan memilih manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj salaf maka bercerai berai dan berselisihlah mereka, sebagaimana kenyataannya demikian.
Siapa yang menyeru kepada tauhid dan manhaj salaf, itulah orang yang menyeru kepada persatuan, sedangkan orang yang menyeru (umat) untuk menyelisihi manhaj salaf maka dialah yang menyeru kepada perpecahan dan perselisihan.[1]
Apabila kaum muslimin di atas tauhid dan manhaj salaf, maka mereka berdiri di depan musuh, dalam satu barisan. Dan apabila mereka berpecah-belah dalam berbagai manhaj maka mereka tidak akan mampu menghadapi musuh mereka.
[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufiah ?An-As-ilah Al-Manahij Al-Jadidah, edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]
_______
Footnote
[1]. Sesungguhnya dakwah tauhid menurut “Firqah Tabligh” dan firqah “Ikhwanul Muslimin” adalah merupakan perkara yang membuat manusia lari dan memecah belah umat Islam -menurut sangkaan mereka-. Dan mereka berpendapat bahwa dakwah tauhid itu bukan bagian dari dasar-dasar dakwah. Mereka juga tidak ridha terhadap orang-orang yang menyeru kepada tauhid, bahkan tatkala ada orang yang masuk firqahnya lalu ia membicarakan masalah tauhid, maka mereka akan segera memperingatkannya.
Dan ini adalah kenyataan yang terjadi pada diri ustadz Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Muhammad Al-Ahmad yang telah disebutkan oleh Syaikh Hamud At-Tuwaijiri di dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh fit-Tahdziri min Jama’atit Tabligh (hal. 45) dan aku (Abu Abdillah Al-Haritsi) ringkaskan di sini.
“Ustadz Muhammad berkata, “Amir (Amir firqah Tabligh) pernah memintaku untuk memberikan pengarahan kepada para jamaah haji setalah shalat ‘Ashar -di mana saya adalah orang yang baru saja ikut khuruj (keluar) bersama jamaah ini-, lalu Amir meminta kepada pembantunya agar memberikan pesan kepadaku, kemudian ia (pembantunya) berkata, “Dalam pembicaraanmu harus dijauhkan dari tiga perkara, -yang disebutkan salah satu di antaranya adalah- : Membicarakan masalah kesyirikan-kesyirikan dan bid’ah-bid’ah, krena sesungguhnya lemahnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah karena terlalu perhatian dalam hal ini.”
Saya (Abu Abdillah Al-Haritsi) katakan, “Contoh-contoh dalam hal ini adalah banyak sekali, bukalah kembali kitab tersebut niscaya engkau akan menjumpai hal-hal yang sangat mengherankan.
Adapun firqah “Ikhwanul Muslimin”, adalah suatu firqah yang dibangun di ats dasar “pengumpulan” (persatuan) karena mereka mengumpulkan antara berbagai kelompok ahlul bid’ah dan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu), sehingga seorang Rafidhah adalah saudara mereka, ia termasuk bagian dan golongan mereka, demikian pula seorang Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Shufiyah, penyembah kubur, ashabul mawalid (para penggemar mauludan), bahkan Yahudi dan Nasrani.
Ambilah bukti-bukti ini:
Berkata Hasan Al-Banna, “Sesungguhnya permusuhan kita dnegan Yahudi bukanlah karena agama, karena Al-Qur’an Al-Karim menganjurkan untuk bersahabat dan berteman dengan mereka.” [lihat Ikhwanul Muslimin Ahdasun Suna’ati Tarikh karya Mahmud Abdul Karim, Juz I – hal. 400]
Adapun berkaitan dengan orang-orang Nasrani adalah seperti yang dinukil oleh Jabir Razaq (seorang Ikhwanul Muslimin) di dalam kitabnya “Hasan Al-Banna fi Aqlami Talamidzatihi wa Mu’ashiriihi” hal, 188, dan ucapan Doktor Hassan Hat hut (seorang Ikhwanul Muslimin) dengan tema Tuhmatut Ta’ashub (anggapan sikap fanatik), ia (Hasan Hat hut) berkata, “Apakah tentang “Qanaa” itu? Yaitu suatu acara yang dimulai dengan pesta besar, dan pada puncaknya, ulama kaum muslimin dan para pendeta Nasrani (Mesir) saling berbangga, tercipta rasa kecintaan, keseriusan, dan persaudaraan yang berjalan seperti jalannya aliran listrik… dan dasar disebutkannya pendeta Nasrani di sini adalah karena banyak orang yang berusaha ingin mengesankan bahwa orang ini (Hasan Albana) adalah seorang yang fanatik dalam memerangi Nasrani dalam dakwahnya, atau anggapan bahwa dia seorang yang fanatik dalam memisahkan dua unsur umat ini (yaitu umat Islam dan Nasrani).
Akan tetapi Allah dan orang-orang yang hadir (dalam acara itu) dari kalangan shiddiqin (orang yang benar/jujur) menjadi saksi bahwa yang benar adalah sebaliknya… orang ini (yaitu Hasan Albana) tidak pernah mengajak kepada kebencian dan perpecahan. Dan dia memberi keternagan bahwa dakwah adalah untuk penerapan syariat Islam dan tidak mungkin syariat Islam itu untuk para pendeta, karena syariat akan memperlakukan kita dan mereka
sama.
Sesungguhnya syariat Islam tidak menuntut secara mutlak kenasraniannya orang Nasrani, karena ia hanyalah kumpulan undang-undang/peraturan yang tidak ditemukan di dalam agama Nasrani sebagai penggantinya, dan tidak pula menghapus hukum-hukumnya. Dan seandainya engkau temukan suatu peraturan di dalam Injil kepada orang-orang Nasrani. Dan Islam tidak menemukan kekurangan dalam hal ini. Sesungguhnya selama pendapat mayoritas tidak meniadakan agama minoritas, maka tidak akan ada zhalim dan yang dizhalimi. Sungguh kebenran dakwah orang ini (Hasan Albana) telah mudah diterima oleh bagi orang yang memiliki pemahaman (yang baik), baik dari kalangan kaum muslimin sendiri maupun para pendeta Nasrani… Dan cukup aku ingatkan kepada orang-orang yang menyangka bahwa orang ini (Hasan Albana) memusuhi orang-orang Nasrani, dengan (kenyataan) bahwa: ‘Luwais Fanus’ ketua para pendeta (ia sekarang sudah meninggal) adalah seorang pendengar setiap pelajaran hari Selasa yang disampaikan oleh Hasan Albana, dan di antara keduannya ada kontak dan persahabatan yang erat.
Dan bahwa: Ketika Hasan Albana dicalonkan dalam “parlemen” pada pemilihan umum wakilnya yang menyertainya dalam jabatan salah satu lajnah pemilu adalah seorang Qibti (orang Mesir yang beragama Nasrani).
Dan bukti lain adalah bahwa, ketika ia (Hasan Albana) dimandikan sewaktu (meninggalk), pemerintah melarang untuk mengumumkan jenazah seorang pun, sehingga tidak ada yang mengiringi jenazahnya, kecuali dua orang saja, yaitu ayahnya dan satu orang lagi, yaitu Mukaram ‘Ubaid seorang tokoh
politik beragama Nasrani.
Dan aku (Doktor Hassan Hat Hut) sebutkan pula bahwa ketika kami menjadi mahasiswa, kami mengunjungi perkumpulan pemuda-pemuda Nashara dalam rangka membicarakan masalah sikap Islam terhadap agama Nasrani.”, lalu kami keluar (meninggalkan mereka) dan sungguh kami merasa bahwa mereka itu adalah manusia yang paling dekat kasing sayangnya.” Selesai ucapannya.
Maka aku (Abu Abdillah Al-Haritsi) katakan: Ucapan semacam ini adalah tidak perlu ta’liq (penjelas) karenahal ini sudah jelas. Aku cukupkan nukilanku terhadap ucapan-ucapan ini, karena sudah panjang lebar nukilan ini, yang aku inginkan tidak lain hanyalah agar semua paham bahwa kaidah “Ikhwanul Muslimin” adalah: PENGUMPULAN UMAT (PERSATUAN) DI BAWAH NAMA ISLAM, TIAK MEMENTINGKAN TASHFIYYAH (PEMURNIAN) AKIDAH. Karena sesungguhnya dakwah tauhid dan manhaj salaf tidak akan menghantarkan kepada persahabatan mereka dengan Yahudi, Nasrani, Rafidhah, Ahli bid’ah, dan para pengikut hawa nafsu yang sesat dan menyesatkan.
Sedang kaidah mereka adalah ucapan Hasan Albana yang masyhur, berkata Doktor Hassan Hat hut, “Dan sebagian dari pengajaran al-Ustadz “Albana” selalu diulang-ulang dan tidak bosan-bosannya adalah ucapannya yang masyhur, yang senantiasa ‘hidup’ sampai hari ini: “KITA MELANGKAH BERSAMA-SAMA PADA APA YANG TELAH KITA SEPAKATI DAN KITA SALING MEMAAFKAN DALAM HAL-HAL YANG KITA PERSELISIHKAN”. [Dari kitab yang telah disebutkan, hal. 190]
Maka ucapan-ucapan ini adalah jelas, nyata-nyata bertentangan dengan kaidah Al-Wala’ wa Al-Bara’ (loyalitas dan berlepas diri), cinta karena Allah dan benci karena Allah. Aslinya kaidah ini adalah kaidahnya pemilik majalah Al-Manar kemudian ditransfer oleh Ikhwanul Muslimin, karena seusai dengan hawa nafsunya:
Hawa nafsu mendatangiku sebelum aku mengenal hawa Kemudian hawa itu hinggap pada hati yang kosong lalu menancap padanya.
Dan aku (Abu Abdillah Al-Haritsi) tidak memperpanjang penukilan tentang Ikhwanul Muslimin, karena bagi orang yang berakal isyarat-isyarat tersebut telah mencukupinya.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1834-dakwah-tauhid-mempersatukan-umat-dan-tidak-memecah-belah.html